CampusNet – Fenomena kehadiran militer di lingkungan kampus tengah menjadi sorotan publik setelah sejumlah peristiwa yang terjadi di berbagai perguruan tinggi, mulai dari Universitas Indonesia (UI) hingga UIN Walisongo Semarang. Isu ini mencuat usai beberapa anggota TNI terlibat dalam aktivitas di kampus, baik melalui kerja sama formal maupun kehadiran langsung dalam kegiatan mahasiswa. Situasi ini memicu kekhawatiran di kalangan akademisi dan masyarakat sipil terkait kebebasan berpendapat serta iklim demokrasi di perguruan tinggi.
Kronologi dan Respons Kampus
Pada awal April 2025, TNI Angkatan Darat (AD) menandatangani perjanjian kerja sama dengan Universitas Udayana (Unud), Bali. Namun, hanya berselang dua pekan, Unud mengajukan surat permohonan pembatalan kerja sama tersebut. Sementara itu, di UI, kehadiran anggota TNI tanpa undangan pada malam konsolidasi mahasiswa sempat menimbulkan kegaduhan. Meski TNI kemudian mengklarifikasi bahwa tidak ada pemantauan diskusi mahasiswa, kehadiran tersebut tetap menimbulkan pertanyaan.
Kasus serupa juga terjadi di UIN Walisongo Semarang, di mana aparat TNI mendatangi acara diskusi mahasiswa dan bahkan mendata peserta. Wakil Rektor I UIN Walisongo, Mukhsin Jamil, mengaku heran dengan tindakan tersebut, yang dinilai tidak lazim dalam kehidupan kampus yang seharusnya bebas dari tekanan eksternal.
Pakar UGM: Ancaman bagi Demokrasi dan Kebebasan Akademik
Dosen Program Studi Manajemen Kebijakan Publik Fisipol UGM, Dr Subarsono, MSi, MA, menilai fenomena militer masuk kampus sebagai bentuk kekhawatiran pemerintah yang berlebihan terhadap aktivitas sivitas akademika. Menurutnya, kekhawatiran ini tidak perlu terjadi, sebab kritik dan perbedaan pendapat di lingkungan kampus adalah bagian penting dari demokrasi.
“Masuknya TNI ke kampus oleh beberapa pihak atau orang, dapat diinterpretasikan sebagai bentuk political pressure atau teror mental pada warga kampus agar tidak bersuara kritis dan ini justru bisa merugikan perkembangan demokrasi yang sudah dibangun sejak awal reformasi,” tegas Subarsono dikutip dari detikEdu. Ia menambahkan, demokrasi akan tumbuh subur jika perbedaan pendapat dan kritik diberikan ruang seluas-luasnya.
Subarsono juga menekankan bahwa TNI AD memang memiliki tanggung jawab menjaga stabilitas politik dan keamanan negara. Namun, strategi yang digunakan harus sesuai dengan konteks demokrasi, keterbukaan, dan transparansi masa kini, yang jauh berbeda dengan era Orde Baru yang sentralistik dan otoritarian.
Peran Kampus, DPR, dan Pemerintah
Lebih lanjut, Subarsono menilai setiap pihak, baik militer, akademisi, maupun masyarakat sipil, memiliki peran masing-masing dalam memelihara dan mengembangkan negara. Ia mengingatkan pentingnya mengedepankan kebebasan berpendapat dan penghormatan hak asasi manusia dalam tata kelola pemerintahan saat ini.
Rektor sebagai pimpinan perguruan tinggi, menurut Subarsono, perlu sangat bijaksana dan hati-hati jika hendak menjalin kerja sama dengan TNI AD, demi menjaga kebebasan kampus. Di sisi lain, ia juga mendesak agar DPR segera merespons isu ini dengan melakukan dialog bersama Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi serta Panglima ABRI. Tujuannya, agar fenomena ini tidak berkembang menjadi polemik liar yang bisa merugikan demokrasi nasional.
“Dari hasil dialog tersebut, kalau ada yang salah perlu segera diambil tindakan koreksi,” pungkas Subarsono.
Dengan maraknya isu militer masuk kampus, suara akademisi menegaskan pentingnya menjaga kebebasan berpendapat dan ruang demokrasi di lingkungan pendidikan tinggi. Dialog terbuka antara seluruh pemangku kepentingan menjadi kunci agar kampus tetap menjadi ruang aman untuk berpikir kritis dan membangun bangsa.
Baca juga: Revisi UU TNI, Supremasi Sipil, dan Kekhawatiran Publik