CampusNet – Belakangan ini, publik dikejutkan pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di salah satu rumah sakit di Bandung.
Deretan kasus ini menjadi pengingat bahwa ruang layanan kesehatan seharusnya menjadi tempat perlindungan dan pemulihan, ternyata memiliki celah rentan terhadap kekerasan. Masyarakat yang menaruh kepercayaan terhadap dunia medis justru harus ter-stigma hal-hal yang buruk.
Program PPDS Harus Menjunjung Nilai Etik
Untuk itu, Direktur RSA UGM, Dr. dr. Darwito menyebut bahwa pihaknya menyadari adanya bentuk tanggung jawab besar dalam membentuk tenaga medis yang tidak hanya unggul secara klinis, tetapi juga menjunjung tinggi nilai etik dan profesionalisme.
Proses seleksi PPDS, seharusnya, bukan pada pengukuran aspek akademik saja, tetapi juga integritas kepribadian. “Seleksi tidak berhenti pada nilai akademik, setelah ujian keilmuan, ada juga tes psikologi seperti MMPI dan wawancara yang bertujuan menggali karakter,” ujar Dr. dr. Darwito dalam keterangan resminya, dikutip Senin, (21/4/2025).
Prinsip Moral Calon Dokter Saat Masa PPDS
Di awal masa pendidikan, peserta PPDS akan dibekali kuliah umum yakni etika kedokteran. Tentu, materi ini mempunyai tujuan untuk memberikan landasan awal tentang prinsip-prinsip moral yang harus dipegang calon dokter spesialis dalam menjalankan profesinya.
“Etika bukan hanya menjadi pembelajaran sesaat yang selesai begitu kuliah selesai. Justru nilai-nilai etis harus terus ditanamkan, dilatih dan dijalankan sepanjang masa pendidikan klinis. Di dunia medis yang kompleks dan penuh tekanan, sikap etis tidak bisa lahir secara instan, tetapi harus dibentuk melalui proses panjang, interaksi nyata serta bimbingan para pendidik yang konsisten,” urainya.
Baginya, proses yang akan dilalui peserta PPDS ini adalah long life learning. Pun begitu, pendidikan etika harus menjadi bagian yang menyatu dalam keseharian residen, dari awal hingga akhir masa studi, bahkan sampai menjalani praktik sebagai dokter spesialis.
Sehingga, peran dosen dan dokter penanggung jawab pasien (DPJP) menjadi sangat penting sebagai pembimbing, juga dijadikan sebagai contoh yang teladan.
Evaluasi Menjadi Kunci Utama Program
Di dalam proses praktik, RSA UGM menerapkan sistem pendidikan berjenjang dengan supervisi ketat. Adapun para residen harus menjalani tahapan merah, kuning dan hijau, dari tahap observasi hingga mandiri dengan pengawasan dari DPJP di setiap tahapannya.
Selain itu, evaluasi terhadap aspek etik dan komunikasi juga dilakukan oleh DPJP sebagai penilai utama performa residen. “Tahap merah belum boleh memegang pasien, lalu kuning boleh tapi masih dibimbing. Hijau baru bisa mandiri, semua tetap dalam pengawasan DPJP,” ungkap Dr. Darwito.
Respon Terkait Kasus Kekerasan Seksual
Soal kasus kekerasan seksual, RSA UGM belum mempunyai pelatihan khusus hingga kini. Namun, materi mengenai kekerasan seksual, bullying dan penyalahgunaan wewenang telah disisipkan dalam sesi awal pendidikan.
Berdasar pada hal tersebut, ini tentu menjadi bentuk komitmen bersama antara RSA dan Fakultas Kedokteran UGM untuk menjaga marwah pendidikan kedokteran yang bermartabat. “Residen di sini menandatangani kontrak, mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang,” kata dia.
Jika peserta kedapatan melanggar marwah, mereka akan dikembalikan ke fakultas. Tidak hanya itu, ada juga upaya preventif yang dilakukan sebagai penciptaan ruang pendidikan dan layanan kesehatan aman bagi semua pihak, baik pasien maupun tenaga medis.
Memasang Kamera Pengawas di Berbagai Titik
Di lingkungan kerja unit RSA UGM, pihaknya telah memasang kamera pengawas (CCTV) di berbagai titik strategis untuk memastikan seluruh aktivitas terekam dan dapat diawasi dengan baik. Tentu, ini juga akan meminimalisir terjadinya kasus kekerasan seksual serupa.
Sistem pemantauan ini akan menjadi instrumen penting dalam mencegah potensi pelanggaran. Juga sebagai upaya yang pasti untuk memastikan adanya transparansi dalam proses terjadinya interaksi di lingkungan rumah sakit.
Penerapan Sistem Pembedaan Jaga Residen
RSA UGM juga menerapkan pengaturan sistem jaga pemisahan residen laki-laki dan perempuan, untuk meminimalkan potensi kerentanan dan menjaga kenyamanan seluruh peserta didik.
Menurut Darwito, keberadaan DPJP sebagai pengawas utama dalam setiap kegiatan pendidikan menjadi kunci dalam memastikan jalannya proses pembelajaran yang tidak hanya aman secara fisik, tetapi juga etis dan profesional.
“Tentu, kami usahakan tidak ada pencampuran shift jaga antara laki-laki dan perempuan. Semua kegiatan pendidikan dipantau oleh DPJP,” tutur dia.
Darwito kembali menekankan, soal kekerasan seksual yang terjadi, ia menyebut harus ada pembedaan antara tindakan dalam kapasitas pendidikan dan tindakan pribadi.
“Jika itu pidana murni, ya itu urusan negara. Tapi kalau terjadi dalam proses pendidikan di rumah sakit, kami bisa beri sanksi akademik, termasuk mengeluarkan. Institusi wajib bertindak jika TKP-nya di sini. Tapi kalau di luar dan di luar jam pendidikan, itu bukan wewenang rumah sakit,” tegas Darwito.
Tentu saja, ini menjadi momen refleksi penting bahwa sistem pendidikan tidak hanya menghasilkan dokter yang kompeten, tetapi juga bermartabat. Institusi, kata Darwito, akan berkomitmen untuk terus menegakkan tiga koridor penting, etika, norma dan hukum.
Sistem pengawasan ini, juga dibarengi dengan pembangunan ruang belajar yang aman dan bermakna. Sehingga, kepercayaan publik terhadap dunia medis hanya bisa dijaga jika institusi pendidikan juga konsisten menjaga nilai-nilai etik dan kemanusiaan.
“Etika dan norma kita jaga lewat SOP dan teladan, kalau hukum ya kita serahkan pada aparat. Yang jelas, pendidikan harus menanamkan nilai-nilai itu sejak awal,” tandasnya.
Baca Juga: Kenali Bentuk Pelecehan Seksual yang Tidak Disadari di Dunia Kampus